Kado 2 Tahun Labibah [Kehamilan, Kelahiran dan Masa Menyusui yang Menyenangkan]

Memiliki seorang anak bagi saya adalah mimpi. Karena memang saya sangat suka sekali pada anak-anak. Terlebih suami juga mencintai anak-anak. Maka setelah pernikahan belum menunjukkan tanda-tanda positif, saya mulai gusar. Apalagi pertanyaan “wis bathi?” kalau dalam bahasa Indonesianya bermakna “sudah isi?” dari tetangga sekitar, saudara juga rekan kerja secara tidak langsung memberikan tekanan tersendiri bagi saya.

Hampir setiap hari sepulang mengajar saya selalu menangis karena pertanyaan-pertanyaan dari banyak orang. Sampai ada seorang teman yang memberikan tips (baca: posisi berhubungan) agar cepat hamil, di depan semua rekan kerja. Ah, begitu malunya saya.

Sejak itu tanpa sepengetahuan suami saya iseng-iseng membeli testpack beberapa buah, untuk jaga-jaga jika dirasa saya hamil. Setiap hari saya membaca tanda-tanda kehamilan. Pernah juga saya merasa malu karena kepedean, seolah sedang hamil dan curhat pada suami, eh malamnya saya datang bulan. T_T.

Hasil melakukan tes beberapa kalipun selalu negatif. Merasa putus asa, pada suatu hari saya bertanya pada suami.
“Mas nggak apa-apa kalau sampai sekarang Ade’ belum hamil?”
“Ya nggak apa-apa. Emang kenapa?”
“Mas nggak pengen punya anak? Ada anak kecil di rumah kita gitu?”
“Ya pengenlah, Sayang. Siapa juga yang nggak kepingin punya anak. Tapi punya anak itu bukan tujuan utama kita menikah kan?”

Jleb. Benar juga ya? Tujuan saya dan suami menikah adalah membangun hubungan yang halal. Keluarga yang dilandasi cinta kasih. Jika mendapatkan keturunan, berarti itu bonus. Hadiah bagi kami yang harus dijaga dan dididik dengan sepenuh hati.

Baiklah. Saya evaluasi kembali makna pernikahan. Meningkatkan kualitas hubungan kami sebagai suami-istri. Semakin bersyukur dengan keadaan kami. Saat itu bagi saya, rumah tangga yang adem, ayem, tentrem sudah sangat menyenangkan. Urusan anak, kami pasrah saja. Jika diberi, syukur. Jika belum rejeki, maka terus bersyukur dan tetap berusaha.

28 Mei 2015
Hari itu saya telat datang bulan. Sudah 2 hari, namun tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan apapun. Antara senang dan takut kecewa. Kalau ternyata bukan tanda hamil bagaimana? Takut kecewa untuk kesekian kalinya, saya mencoba memupuskan angan-angan yang seketika ada. Bismillah, saya beranikan melakukan tes lagi saat mandi sore. Satu menit lamanya saya tunggu. Hingga 2 garis merah itupun muncul dengan sangat bertahap. Alhamdulillah. Akhirnya saya percepat waktu mandi. Hampir tidak pakai sabun! 😁

Saat itu suami sedang salat Ashar. Saya tunjukkan pada beliau. Bayangan saya suami akan merasa surprised dan memeluk saya. Tapi ternyata suami malah bingung. Tidak mengerti apa maksud garis di testpack. 😁. Saya jelaskan jika garis satu artinya negatif. Jika garis dua artinya...
“Ade’ hamil?”
“Iya.” Sambil saya tersenyum lebar sekali. Masih berharap suami akan memberi pelukan.
“Oooh. Yaudah.”

Oh, tidak. Mimik yang ditunjukkan jauh di luar ekspektasi saya. Walaupun tidak terlihat ekspresi bahagia suami saat tahu saya hamil, saya paham beliau selalu menyelipkan doa-doa terbaik untuk anak kami. Saya percaya beliau bisa menjadi ayah siaga. Untuk istri dan calon anaknya.

Dari sana mulailah saya berselancar mencari info tentang ASI. Membaca buku-buku tentang kehamilan dan persiapan melahirkan. Mulai berhadapan dengan mitos-mitos yang berkembang di lingkungan sekitar, kemudian mencari tahu kebenarannya dari segi ilmu pengetahuan. Beruntung suami selalu memberikan dukungan. Termasuk saat saya bertekad untuk memberikan ASI pada calon anak kami nanti. Beliau orang pertama yang mendukung keputusan saya.

Dalam menjalani kehamilan ini, syukurlah hampir tidak ada keluhan. Hanya pada saat usia 2-3 bulan pertama, rasa kantuk begitu mengganggu. Setiap saat inginnya hanya tidur tidur dan tidur. Saat bulan puasa setiap selesai berbuka, bisa dipastikan makanan yang saya makan akan saya muntahkan. Namun itu hanya berlangsung beberapa saat saja. Sekitar 2 minggu. Setelah itu semua berjalan baik-baik saja.

Menginjak usia 4 bulan, saya putuskan untuk resign dari pekerjaan. Memutuskan untuk fokus pada kehamilan dan mempersiapkannya sebaik mungkin.

Usia 7 bulan, dari hasil USG kepala bayi sudah masuk panggul. HPL yang awalnya diperkirakan bulan Februari maju ke bulan Januari. Melihat posisi bayi yang sudah seperti siap dilahirkan. Dan jangan ditanya. Berat badan saya naik drastis. Melar di sana sini. Hoho, ternyata bisa juga ya saya gemuk. 😁

Usia 8 bulan, ada inisiatif untuk melakukan maternity photo. Baiklah, kami sepakati nanti saja saat sudah masuk 9 bulan. Biar kelihatan gedhe gitu perutnya, biar saya juga kelihatan gendhut maksimalnya. Namun belum juga kesampaian, saat kandungan berusia antara 37-38 minggu saya melahirkan. Seorang bayi perempuan. Cantik. Bermata sipit.

Selamat datang, Labibah. Ceritamu berlanjut, Nak. :)

Komentar

Postingan Populer