[Kado 2 Tahun Labibah: Kisahmu tak kan Terlupa]

Masa penantian itupun berlalu sudah.
Kau hadir ditandai dua garis merah.
Tanda tubuhku membawa dua nyawa.

Penanam benihmu, juga selalu senang hati menyambangi.
Ia tak pernah luput mengasihi.
Menyemai cinta agar kau tumbuh bersemi.

Mulai saat itu, doa kami rapal tanpa henti.
Berharap yang paling baik untukmu nanti.

Tiba waktu bertemu denganmu tiba.
Kontraksi empat hari bukan perjalanan mudah.
Sempat menyerah menahan rasa.
Antara terus atau berhenti sudah.
Memilih hidup atau mati saja.
Yang penting anak di perut lahir tanpa kurang suatu apa.

Laki-laki itu, tak tahan melihat istrinya kesakitan.
Ia menyerah dan mulai membalikkan badan.
Tanpa pamit ia mulai meninggalkan.
Saking cintanya ia tak kuasa mendengar rintihan.

Dari kamar bersalin ku lihat laki-laki itu tengadah mengirim doa.
Terselip dari raut wajah tegangnya.
Bermohon secercah kehidupan baru dapat ia genggam di sisa umurnya.

Doa membaur dalam erangan.
Tuhan,
kuatkan, kuatkan, kuatkan.
Saat nafasku mulai tersenggal,
malaikat kecil itupun datang bersama tangisan.
Peluhku tak terasa walau terpapar sekian jahitan.

Ah, suamiku.
Bayi ini hadiah untukmu.
Ia yang lahir dari rahimku.
Tumbuh dari benihmu.
Tak dapat membalas baikmu,
baiklah hanya dengan nyawa saja ku mampu bertaruh.
Memastikan anak yang ku lahirkan utuh.
Maka terimalah ia sebagai pengabdianku.

Anakku,
yang ku ketahui takdir namamu adalah Labibah.
Tumbuhlah.
Bermekarlah.
Pupuk susu dari kelahiran hingga detik ini ku beri sudah.
Bekal dirimu hidup menyambung nyawa.

Saat ini usiamu masuk tahun kedua.
Kita akan belajar untuk berpisah.
Melewati satu proses kehidupan nyata.
Sedihku tak langsung sirna,
menyadari dirimu bukan lagi gadis kecil yang gemar bergelayut di dada.

Namun hingga kini,
doa masih kami rapal tanpa henti.
Berharap yang paling baik untukmu nanti.

[Tulisan ini sebagai hadiah peringatan hari lahir Labibah, 15 Januari]

Lamongan,
13, berlanjut 14 Januari 2017

#IIPMalangRaya
#RumbelMenulis
#TantanganKeempat
#PuisiUntukAnanda